Thursday, February 21, 2013

Biokonversi Selulose dari Limbah Tongkol Jagung Menjadi Glukosa Menggunakan Jamur Aspergilus Niger

Kebutuhan akan glukosa dalam industri semakin meningkat seiring dengan  pemenuhan kebutuhan makanan, minuman, dan bahan baku pembuatan bahan kimia maupun obat-obatan. Produksi glukosa merupakan langkah awal dan penting dari konversi selulose menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan mempunyai berat molekul yang lebih rendah serta membuka lapangan yang luas bagi berbagai bahan kimia, termasuk potensi untuk mensitesa polimer – polimer yang pada saat ini produksinya bertumpu pada minyak bumi dan gas alam dengan proses petrokimia.
            Salah satu sektor yang belum banyak dimanfaatkan adalah limbah pertanian. Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang tidak dipergunanakan kembali dari hasil aktivitas manusia, ataupun proses-proses alam yang belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan mempunyai nilai ekonomi yang sangat kecil. Dikatakan mempunyai nilai ekonomi yang sangat kecil karena limbah dapat mencemari lingkungan dan penangannya memerlukan biaya yang cukup besar. Pemanfaatan limbah merupakan salah satu alternative untuk menaikkan nilai ekonmi limbah tersebut. Pemanfaatan limbah pertanian diantaranya adalah tongkol jagung, yang selama ini hanya dijadikan sebagai pakan ternak atau hasil industri minyak jagung yang tidak diolah kembali menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Untuk itulah dalam penelitian ini akan dimanfaatkan limbah pertanian yaitu tongkol jagung sebagai penghasil glukosa, sehingga limbah ini dapat bermanfaat bagi penigkatan nilai tambah limbah pertanian.
            Dalam penelitian ini yang dilakukan adalah mengkonversikan selulose menjadi glukose menggunakan proses hidrolisa secara enzimatik dengan perlakuan terlebih dahulu dengan hidrolisis asam dan perendaman dalam larutan FeTNa (Hamilton, 1984; Purnomo dan Rochma, 2004). Enzim yang digunakan adalah diperoleh ari jamur Aspergilus niger.
            Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman serelia yang tumbuh hampir di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan variabilitas genetic tebesar. Di Indonesia jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Banyak daerah di Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung, antara lain Madura, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, dll.
Keunggulan jagung dibandingkan dengan komoditas pangan yang lain adalah kandungan gizinya lebih tinggi dari beras, sumber daya ala mini juga sangat mendukung untuk pembudidayaannya, harga relative murah dan tersedianya teknologi budidaya hingga pengolahan. Selain sebagai bahan makan pokok, jagung juga dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak dan bahan industri serta komoditas eksport (Suprapto dan Rasyid, 2002).
Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri pangan dan pakan berbahan baku jagung. Limbah yang dihasilkan diantaranya adalah tongkol jagung yang biasanya tidak dipergunakan lagi ataupun nilai ekonominya sangat rendah. Umumnya tongkol jagung dipergunakan sebagai pakan ternak sapi, ataupun di daerah pedesaan tongkol jagung ini dapat dimanfaatkan sebagai obat diare (Suprapto dan Rasyid, 2002).
Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak mengandung serat kasar dimana tersusun atas senyawa kompleks lignin, hemiselulose dan selulose (lignoselulose), dan masing-masing merupakan senyawa-senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi. Selulose merupakan sumber karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat  dalam proses fermentasi untuk mengahsilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Aguirar, 2001; Suprapto dan Rasyid, 2002).
Selulose hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam (Gambar 1.1), melainkan selalu berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulose. Serat selulose alami terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Seluose murni mengandung 44,4% C; 6,2% H dan 49,3% O. Rumus empiris selulose adalah (C6H10O5)n, dengan banyaknya satuan glukosa yang disebut dengan derajat polimerisasi (DP), dimana jumlahnya mencapai 1.200-10.000 dan panjang molekul sekurang-sekurangnya 5.000 nm. Berat molekul selulose rata-rata sekitar 400.000 Mikrofibril selulose terdiri atas bagian amorf (15%) dan bagian berkristal (85%). Struktur berkristal dan adanya lignin serta hemiselulose disekeliling selulose merupakan hambatan utama untuk menghidrolisa selulose (Sjostrom, 1995). Pada proses hidrolisa yang sempurna akan mengahasilkan glukosa, sedangkan proses hidrolisa sebagian akan menghasilkan disakarida selebiose.
Gambar 1.1. Struktur selulose (dari Cole dan Fort, 2007).

Hemiselulose terdiri atas 2-7 residu gula yang berbeda (Gambar 1.2). Hemiselulose berbeda dengan selulosa karena komposisinya teridiri atas berbagai unit gula, disebabkan rantai molekul yang pendek dan percabangan rantai molekul. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk hemiselulosa dapat dibagi menjadi kompleks seperti pentosa, heksosa, asam keksuronat dan deoksi-heksosa (Fengel dan Wegener, 1995; Nishizawa, 1989). Hemiselulosa ditemukan dalam tiga kelompok yaitu xylan, mannan, dan galaktan. Xylan dijumpai dalam bentuk arabinoxylan, atau arabino glukurunoxylan. Mannan dijumpai dalam bentuk glukomannan dan galaktomannan. Sedangkan galaktan yang relative jarang, dijumpai dala bentuk arabino galaktan.


Gambar 1.2. Struktur hemiselulose (dari Cole dan Fort, 2007).

Lignin adalah polimer aromatic kompleks yang terbentuk melalui polimerisasi tiga dimensi dari sinamil alcohol (turunan fenil propane) dengan bobot melekul mencapai 11.000 (Gambar 1.3). Dengan kata lain, lignin adalah makromolekul dari polifenil. Polimer lignin dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami perubahan pada bentuk dasarnya. Lignin yang melindungi selulose bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter.   
structure of lignin
Gambar 1.3. Struktur lignin

Glukose, monosakarida terpenting kadang-kadang disebut gula darah (karena dijumpai dalam darah), gula anggur (karena dijumpai dalam buah anggur), atau dekstrosa (karena memutar bidang polarisasi ke arah kanan) (Gambar 1.4). Glukose adalah suatu aldoheksosa yang terdapat dalam jumlah banyak, diikuti dengan galaktosa dan manosa.
Gambar 1.4. Struktur glukose.

Hidrolisa adalah proses peruraian suatu senyawa oleh air. Proses tersebut dapat terjadi dalam suasana asam, basa, atau netral tergantung pada senyawa yang bereaksi serta karena enzim. Hidrolisa selulosa merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menghasilkan glukosa. Ada dua cara yang digunakan untuk hidrolisa selulose yaitu dalam suasana asam dan secara enzimatis. Dibandingkan dengan hidrolisa asam, hidrolisa menggunakan enzim mempunyai keuntungan berupa derajad konversi yang tinggi, pembentukan hasil samping yang minimal, kebutuhan energi yang rendah, dan kondisi operasi yang mudah dicapai. Enzim selulose merupakan enzim yang kompleks yang terdiri atas tiga yaitu endoselulase, selobiohidrolase dan selobiase. Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis dalam menghidrolisa selulosa menjadi glukosa. Selobiohidrolase menyerang struktur kristal selulosa dan menghasilkan selobiosa (disakarida). Endoselulase menghidrolisa bagian amorf selulosa menjadi senyawa-senyawa dengan bobot molekul yang lebih kecil (β-oligomer), sedangkan selobiase menghidrolisa β-oligomer menjadi glukosa. Pengaruh hidrolisa pada masing-masing enzim adalah rendah, sedangkan kombinasi eksoenzim (selobiohidrolase) dan endoenzim menaikkan produksi glukosa. Jadi keseluruhan enzim bekerja sama dalam mendegradasi selulose.
Adsorpsi enzim selulose pada permukaan selulose pada umumnya diasumsikan lebih cepat dibandingkan dengan laju hidrolisis secara keseluruhan Jumlah enzim selulose yang diadsorpsi terutama tergantung pada tersedianya luas permukaan selulose dan konsentrasi enzim selulose. Oleh karena itu, tipe selulose dan konsentrasi enzim selulose merupakan dua faktor penting adsorpsi dalam sistem selulase-selulose.
Sumber enzim, berasal dari jaringan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang terseleksi. Enzim yang secara tradisional diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang mempunyai kelemahan yaitu variasi musim, konsentrasi rendah, biaya tinggi, persediaan enzim terbatas, dan adanya persaingan dengan pemanfaatan yang lain. Oleh karena itu pengingkatan sumber enzim sedang dilakukan dengan cara memaksimalkan dari mikroba pengahasil enzim yang sudah dikenal  atau penghasil enzim baru lainnya.
Sebagian besar enzim mikroba untuk keperluan industri hanya berasal dari 11 jamur, 8 bakteri dan 4 ragi serta dalam prakteknya para produsen biasanya mencari enzim baru dari kelompok ini. Kebanyakan mikroba yang digunakan dari jamur adalah Aspergilus niger, Mucor sp., Rhizopus arrhizus, Trichoderma viride, Penicillium vitale, Aerobacter aerogenes, dll. Sedangkan dari bakteri adalah Bacillus subtilis, Bacillus coagulans, Escherichia coli, dll.  Sumber enzim yang didapat dari ragi adalah Saccharomyces cereviceae, Streptomyces phaeochromogens, dll.
Aspergilus niger. Pada penelitian  ini produksi enzim selulose didapatkan dari jamur Aspergilus niger, karena jamur ini sangat mudah didapatkan di alam bebas.  Aspergilus niger adalah kapang dari jenis fungi imperfecti yang tersebar dimana-mana pada berbagai macam substrat antara lain pada buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan lain yang telah membusuk.
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan enzim selulose kasar dari jamur Aspergilus niger dengan variable waktu inkubasi yang berbeda-beda guna mengetahui aktivitas yang optimum; untuk memperoleh glukosa dari tongkol jagung melalui proses hidrolisa secara enzimatik menggunakan enzim selulosa dari jamur Aspergilus niger; dan untuk mengetahui kondisi yang baik dalam pembuatan glukosa dari tongkol jagung.